A s h a b u l K a h f
i
(Keagungan Allah,
Kehebatan Ali, Kecerdasan Tamlikha)
Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT
menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan
nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi
mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga
kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul
Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata,
tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah)
didalamnya.
Ashabul
Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus
di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup
ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika
sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka
sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti
kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka
untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka
di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
Dengan
izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan
dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi
masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran
al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
Berikut
adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan
ceritanya. Penulis kitab Fadha’ilul
Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300),
mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya.
Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
“(Ingatlah)
tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka
berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS
al-Kahfi:10)
Dengan
panjang lebar kitab Qishashul
Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di
kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang
kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai
Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya,
Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika
anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya,
jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan
bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan
kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya
pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?
Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan
kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi
makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya!
Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia
sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang
berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah
yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan
oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung
pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah
Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar,
jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak
diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman
Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada
pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia
cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata:
“Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam
Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah
berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu,
Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan
tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu
jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai
dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan
beriman!”
“Ya
baik!” jawab mereka.
“Sekarang
tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib. Mereka mulai bertanya:
“Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!” Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?” Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!” Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?” Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para
pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu
benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang
adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta
itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang
dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan
bukan jin!”
Ali
bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi
Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para
pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang
lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun
di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau
induknya!”
Ali
bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa.
Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi
Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua
di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta
penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!” Tetapi seorang
pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai
Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman
dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi
yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah
apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba
terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati
selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat
tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali
bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni
gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada
Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.” Pendeta Yahudi
itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika
engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah
mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali
bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut,
lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata:
“Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan
kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama
Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman
dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama
menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk
negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu
meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama
Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang
menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai
kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah
sebuah Istana.”
Baru
sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali
bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang
sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan
lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya
terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya
terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang
terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang
harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak
seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai
terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja
itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya
40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari
emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan
penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan
mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai
di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai
saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari
kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara
yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain
mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan,
untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil
suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah
kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta
yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan
itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja
itu!”
Menanggapi
hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang
pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala
urusan.
Tiap
hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang
dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang
diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.
Seorang
lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya
lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan
suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian
si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang
pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya,
sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat
sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu
terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang
harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah
raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing
kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan
dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya
Allah s.w.t.
Raja
itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang
taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya.
Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti
kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa
mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja
itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Allah s.w.t.
Pada
suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana
mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang
memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah
kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian
raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang
pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha–
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu
berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana
menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air
kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam
orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha
menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha
untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan
tidak mau minum?”
“Teman-teman,”
sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak
ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya
mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah
lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan.”
Aku
lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai
atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa
tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah
yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?
Siapakah
yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian
kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala?
Siapakah
yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang
dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah
yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi
kita semua!”
“Saudara-saudara,”
jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami
setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha
lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya
berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang
temannya.
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
“Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar.”
Mereka
turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai
kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku
mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat
wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti
melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian
itu!”
“Ah…,
susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak
boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,”
jawab penggembala itu.
Tamlikha
dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka.
Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka,
dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di
sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku
akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha
bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu
cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri
lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai
saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika
enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata
kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing
itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas
sekali: ”Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku
ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah
aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan
diriku kepada Allah s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi.
Penggembala
tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah
gua.”
Pendeta
Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil
berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam
Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau
di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali
bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh
pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan
dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka
masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka,
berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi
pintu gua.
Kemudian
Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada
masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk
membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan
matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan
mereka dari arah kiri.
Suatu
ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam
orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada
para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!”
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam
gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada
Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam
gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang amat
panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat
matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun
dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam
tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah
mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering
kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t.
membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara
kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa
mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha
kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan
ambillah bajuku ini!”
Setelah
Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan
ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui
jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain
Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha
berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata
seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan
mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum
pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja
roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,”
sahut penjual roti itu.
“Siapakah
nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau
yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali!
Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat
uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu
uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta
Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi
Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku
berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam
Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,
bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap
dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam
Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha:
“Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun!
Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada
raja!”
“Aku
tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari
yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian
meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual
roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun
masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau
telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan,
padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan
begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha
lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini
seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang
yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada
Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan
supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah
yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha
menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah
penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya.
Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah
orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya,
ada,” jawab Tamlikha.
“Coba
sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha
menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang
dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata:
“Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang.
Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya,
tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja
kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha
mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya
di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu
rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia.
Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir
menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu
bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan
raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya!”
Orang
tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya:
“Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang
tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha
menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki
Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di
antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian
diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa,
Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah
mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa
yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang
berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun
dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak
beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai
Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada
masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama
Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu
bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,”
demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman
Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha
berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir
kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya
senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua.
Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan
menemui dan memberitahu mereka!”
Semua
berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat
Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang
telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha
menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah
kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!”
sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius
sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti,
dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka
sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman
Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini
orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas
apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah
tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka
bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan
kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang
kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang
lain!”
Allah
s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut
kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas.
Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua,
berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa
hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada
saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang
dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah
kepada mereka.
Bangsawan
yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang
bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua
orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya
bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan
terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
“Dan
begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji
Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila
mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata,
“Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui
mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami
akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai
di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua.
Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai
Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku
hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa
yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta
Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak
mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah
hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul
Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha
‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar